KEBIJAKAN-KEBIJAKAN MONETER DARI TAHUN 1998 SAMPAI 2017
RONI FICAL - FAK. EKONOMI & BISNIS - MANAJEMEN - 1402015153
Pada awalnya pemerintah berusaha
untuk menangani sendiri masalah krisis ini. Namun setelah menyadari bahwa
merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS tidak dapat dibendung
sendiri,lebih lagi cadangan dollar AS di BI sudah mulai menipis karena terus
digunakan untuk meningkatkan kembali nilai tukar rupiah, tanggal 8 Oktober1997
pemerintah resmi akan meminta bantuan kepada IMF. Strategi pemulihan IMF dalam
garis besarnya ialah mengembalikan kepercayaan masyarakat dalam dan luar negeri
terhadap kinerja ekonomi Indonesia. Inti dari setiap program pemulihan ekonomi
adalah restrukturisasi sektor finansial (Fischer 1998b). Kemudian antara Indonesia
dan IMF membuat nota kesepakatan, terdiri atas 50 butir kebijakan mencakup
ekonomi makro (fiskal dan moneter), restrukturisasi sektor keuangan, dan
reformasi struktural, yang ditandatangani bersama. Butir-butir dalam kebijakan
fiskal meliputi, tetap menggunakan prinsip anggaran berimbang, usaha-usaha
untuk mengurangi pengeluaran, seperti menghilangkan subsidi BBM dan listrik
serta membatalkan sejumlah proyek infrastruktur besar, dan yang terakhir
meningkatkan pendapatan pemerintah dengan penangguhan PPN dan fasilitas pajak
serta bea cukai, mengenakan pajak tambahan terhadap bensin, memperbaiki audit
PPN dan memperbanyak objek pajak.
Namun kesepakatan itu gagal,
karena syarat-syarat dari IMF dirasa berat oleh Indonesia. Maka dari itu
dilakukanlah negosiasi dan dihasilkan kesepakatan yang ditandatangani 15
Januari 1998. Pokok-pokok dari program IMF itu antara lain, kebijakan makro
ekonomi yang terdiri dari kebijakan fiskal dan kebijakan moneter serta nilai
tukar, kemudian restrukturisasi sektor keuangan yang terdiri dari program
restrukturisasi bank dan memperkuat aspek hukum dan pengawasan untuk perbankan,
dan yang terakhir adalah reformasi structural yang terdiri dari perdagangan
luar negeri dan investasi, deregulasi dan swastanisasi, social safety net dan
lingkungan hidup.
Pelaksanaan kesepakatan kedua
ini kembali menghadapi bebagai hambatan, kemudian diadakan negosiasi ulang yang
menghasilkan Supplementary Memorandum pada tanggal 10 April 1998 yang terdiri
atas 20 butir, 7 appendix dan satu matriks. Strategi yang akan dilaksanakan
adalah menstabilkan rupiah pada tingkat yang sesuai dengan kekuatan ekonomi
Indonesia, memperkuat dan mempercepat restrukturisasi sistim perbankan,
memperkuat implementasi reformasi struktural untuk membangun ekonomi yang efisien
dan berdaya saing, menyusun kerangka untuk mengatasi masalah utang perusahaan
swasta, dan yang terakhir adalah mengembalikan pembelanjaan perdagangan pada
keadaan yang normal, sehingga ekspor bangkit kembali. Sedangkan ke tujuh
appendix itu antara lain, kebijakan moneter dan suku bunga, pembangunan sektor
perbankan, bantua anggaran pemerintah untuk golongan lemah, reformasi BUMN dan
swastanisasi, reformasi structural, restrukturisasi utang swasta, dan hukum
kebangkrutan dan reformasi yuridis.
PERKEMBANGAN PEREKONOMIAN HINGGA
AKHIR DESEMBER 2003
Perekonomian tahun 2003 relatif stabil
dan membaik. Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter Desember 2003 Laporan
Bulanan Ekonomi, Moneter, dan Perbankan 2 Faktor utama yang mendorong penguatan
rupiah tersebut adalah perbaikan country risk diikuti oleh surplus NPI (yang
tercermin pada meningkatnya cadangan devisa), selisih suku bunga riil yang
masih menarik, perbaikan terms of trade dan pengaruh depresiasi USD secara
global. Perkembangan inflasi yang cenderung turun masih membuka peluang penurunan
suku bunga instrumen moneter.
Penurunan tersebut juga dimungkinkan
dengan longgarnya likuiditas perbankan seperti tergambar pada kondisi lelang
yang mengalami oversubscribed. Suku bunga SBI di bulan Desember 2003 turun
cukup besar sebesar 18 bps menjadi 8,31% sementara suku bunga SBI 3 bulan turun
sebesar 4 bps menjadi 8,34%. Sementara itu, suku bunga simpanan perbankan bulan
November 2003 masih melanjutkan tren penurunan sedangkan suku bunga kredit
turun lebih lambat. Kondisi tersebut menyebabkan spread antara suku bunga
simpanan dan kredit semakin melebar. Maka, selama tahun 2003, suku bunga SBI 1
dan 3 bulan masing-masing turun sebesar 493 bps dan 497 bps. Uang primer pada
bulan Desember 2003 menurun dibandingkan posisinya di bulan November 2003.
Penurunan ini terkait dengan mulai kembalinya uang kartal di masyarakat seusai
perayaan lebaran.
Posisi uang primer tercatat
lebih rendah dari posisinya di bulan November yaitu turun sebesar Rp9,0 triliun
sehingga menjadi Rp166,5 triliun. Dengan perkembangan tersebut, posisi test
date sementara uang primer pada bulan Desember mencapai Rp152,1 triliun, lebih
tinggi dari target indikatifnya sebesar Rp146,6 triliun. Masih lebih tingginya
posisi test date sementara dibanding dari target indikatifnya terkait dengan
kembali meingkatnya uang kartal di paro kedua Desember 2003 akibat pola musiman
akhir tahun seperti persiapan menghadapi hari raya Natal dan tahun baru serta
peningkatan giro bank untuk mengantisipasi kebutuhan di akhir tahun. Secara
tahunan, posisi uang primer akhir Desember tersebut meningkat sebesar 20,43%
(y-o-y)
TAHUN 2009
Rapat Dewan Gubernur Bank
Indonesia pada 3 Juni 2009 memutuskan untuk menurunkan BI Rate sebesar 25
bps, dari 7,25% menjadi 7,00 %. Keputusan tersebut diharapkan dapat
mendukung upaya menjaga gairah pada pertumbuhan ekonomi domestik dengan tetap
menjaga kestabilan harga serta sistem keuangan dalam jangka menengah.
Ke depan, Bank Indonesia akan
senantiasa mencermati berbagai perkembangan perekonomian global maupun domestik
dan memperhitungkan dengan seksama dampaknya pada perekonomian secara
keseluruhan. Bank Indonesia juga akan tetap melanjutkan kebijakan yang
mendukung perbaikan ekonomi melalui stimulus moneter apabila ruang bagi
pelonggaran kebijakan moneter masih tetap terbuka, secara khusus apabila tekanan
inflasi terus menurun.
TAHUN 2010
Berdasarkan evaluasi terhadap
kinerja dan prospek perekonomian yang secara umum menunjukkan perbaikan
tersebut, Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 4 November 2010
memutuskan untuk mempertahankan BI Rate pada tingkat 6,50%. Namun demikian,
Bank Indonesia tetap mencermati potensi meningkatnya tekanan inflasi ke depan.
Dewan Gubernur memandang level BI Rate saat ini masih konsisten dengan
pencapaian sasaran inflasi dan tetap kondusif untuk menjaga stabilitas keuangan
serta mendorong intermediasi perbankan yang diperlukan bagi sisi suplai untuk
dapat merespons akselerasi di sisi permintaan secara memadai. Di tengah masih
derasnya arus modal asing yang masuk dan kondisi ekses likuiditas yang masih
cukup besar. Dewan Gubernur menegaskan bahwa pengelolaan likuiditas
perekonomian merupakan hal yang lebih penting. Implementasi kebijakan menaikkan
rasio giro wajib minimum (GWM) Primer per 1 November 2010 telah berjalan dengan
baik tanpa menimbulkan gejolak pada likuiditas perbankan. Ke depan, Bank
Indonesia akan memperkuat manajemen likuiditas dan efektifitas kebijakan
moneter melalui penerapan bauran kebijakan moneter dan makroprudensial dalam
ranga pengelolaan aliran masuk modal asing, stabiliasi nilai tukar Rupiah, dan
memastikan pengendalian inflasi sesuai sasaran yang ditetapkan yaitu 5% ± 1%
pada tahun 2010 dan 2011 serta 4,5% +1% di 2012.
TAHUN 2011
Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank
Indonesia pada 5 Januari 2011 memutuskan untuk mempertahankan BI Rate pada
level 6,5%. Namun demikian, Dewan Gubernur mewaspadai tekanan inflasi yang
cenderung meningkat ke depan, seiring dengan gangguan pasokan bahan-bahan
kebutuhan pokok (volatile foods) dan kemungkinan penyesuaian harga-harga yang
ditetapkan Pemerintah (administered prices). Sehubungan dengan itu, Bank
Indonesia berpandangan bahwa kenaikan ekspektasi inflasi akan dapat diminimalisir
apabila dilakukan peningkatan efektivitas produksi, distribusi, dan
ketersediaan bahan pokok di tingkat nasional dan daerah. Dari sisi Bank
Indonesia, bauran kebijakan moneter dan makroprudensial yang telah ditempuh
tahun lalu akan terus diperkuat dengan mengoptimalkan semua instrumen secara
seimbang dan terukur. Sebagaimana diketahui, selama ini Bank Indonesia telah
menempuh sejumlah kebijakan untuk mengendalikan likuiditas dan capital inflows
seperti kenaikan GWM (rupiah dan valas), one month holding period (OMHP)
terhadap SBI, dan pembatasan pinjaman luar negeri jangka pendek bank.
TAHUN 2012
Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank
Indonesia pada tanggal 8 November 2012 memutuskan untuk mempertahankan BI Rate
sebesar 5,75%. Tingkat suku bunga tersebut dinilai masih konsisten dengan
tekanan inflasi yang rendah dan terkendali sesuai dengan sasaran inflasi tahun
2012 dan 2013, yaitu 4,5% ± 1%. Sejalan dengan dinamika perekonomian dan
sejumlah kebijakan yang ditempuh selama ini, tekanan ketidakseimbangan
eksternal mulai mereda dengan defisit transaksi berjalan yang telah menurun dan
neraca pembayaran yang kembali mengalami surplus. Nilai tukar rupiah juga
bergerak sesuai kondisi pasar dengan intensitas depresiasi yang menurun.
Sementara itu, perekonomian domestik masih tumbuh cukup baik, meskipun sedikit
melambat akibat menurunnya ekspor karena dampak berlanjutnya pelemahan ekonomi
global. Ke depan, Bank Indonesia mengarahkan kebijakannya untuk mengelola
keseimbangan eksternal ke tingkat yang berkesinambungan dengan tetap memberikan
dukungan terhadap pertumbuhan ekonomi domestik. Bank Indonesia juga akan terus
memperkuat koordinasi dengan Pemerintah dalam upaya menjaga kestabilan ekonomi
makro dan kesinambungan pertumbuhan ekonomi nasional.
Dewan Gubernur menilai bahwa
perekonomian domestik sejauh ini masih tumbuh cukup baik walaupun mengalami
sedikit perlambatan. Perekonomian Indonesia pada triwulan III 2012 tumbuh 6,2%,
sedikit lebih rendah dari prakiraan akibat penurunan kinerja ekspor yang masih
berlanjut. Pertumbuhan tersebut didorong oleh kuatnya permintaan domestik,
terutama konsumsi rumah tangga dan investasi. Ke depan, pertumbuhan ekonomi
diprakirakan akan kembali meningkat, ditopang oleh konsumsi dan investasi
domestik yang tetap kuat. Ekspor diprakirakan juga akan mengalami perbaikan
sejalan dengan membaiknya perekonomian beberapa negara mitra dagang utama,
meskipun masih dibayangi ketidakpastian kondisi perekonomian global. Dengan
perkembangan tersebut, ekonomi Indonesia untuk keseluruhan tahun 2012
diprakirakan tumbuh 6,3% dan pada tahun 2013 meningkat menuju kisaran
6,3%-6,7%.
TAHUN 2013
Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank
Indonesia pada 12 Desember 2013 memutuskan untuk mempertahankan BI Rate pada
level 7,50%, dengan suku bunga Lending Facility dan suku bunga Deposit Facility
tetap pada level 7,50% dan 5,75%. Kebijakan tersebut dinilai konsisten dengan
upaya mengarahkan inflasi menuju ke sasaran 4,5±1% pada 2014 serta
mengendalikan defisit transaksi berjalan menurun ke tingkat yang lebih sehat
dan berkesinambungan. Bank Indonesia juga memperkuat pendalaman pasar uang
rupiah dan valas dengan mengimplementasikan mini Master Repo Agreement antar
sejumlah bank serta memperluas cakupan swap lindung nilai jangka menengah dan
panjang antara Bank dengan Bank Indonesia. Ke depan, Bank Indonesia akan terus
mencermati sejumlah risiko, termasuk ketidakpastian ekonomi global yang dapat
kembali meningkat. Bank Indonesia akan terus memperkuat bauran kebijakan
moneter dan makroprudensial serta koordinasi dengan Pemerintah dalam
pengendalian inflasi dan defisit transaksi berjalan, termasuk kebijakan untuk
memperbaiki struktur ekonomi.
TAHUN 2014
Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank
Indonesia pada 11 Desember 2014 memutuskan untuk mempertahankan BI Rate sebesar
7,75%, dengan suku bunga Lending Facility dan suku bunga Deposit Facility
masing-masing tetap pada level 8,00% dan 5,75%. Tingkat suku bunga tersebut
masih konsisten untuk memastikan tekanan inflasi jangka pendek pasca kebijakan
realokasi subsidi BBM yang ditempuh Pemerintah akan tetap terkendali dan temporer
sehingga akan kembali menuju ke sasaran 4±1% pada 2015. Kebijakan tersebut juga
sejalan dengan langkah-langkah stabilisasi yang ditempuh selama ini untuk
mengendalikan defisit transaksi berjalan ke tingkat yang lebih sehat. Bank
Indonesia terus memperkuat bauran kebijakan untuk memastikan stabilitas
makroekonomi dan sistem keuangan tetap terjaga. Kebijakan moneter yang
cenderung ketat tetap dilanjutkan untuk mengendalikan inflasi dan defisit
transaksi berjalan, sementara kebijakan makroprudensial yang akomodatif
ditempuh agar pengetatan moneter tersebut tidak menimbulkan risiko terhadap
stabilitas sistem keuangan. Kebijakan sistem pembayaran diarahkan untuk
mendukung penyaluran program sosial Pemerintah dan memperluas Gerakan Nasional
Non-Tunai (GNNT). Selain itu, koordinasi kebijakan antara Bank Indonesia dan
Pemerintah juga terus diintensifkan untuk menjaga stabilitas makroekonomi,
khususnya dalam mengendalikan tekanan inflasi pasca kebijakan realokasi subsidi
BBM dan defisit transaksi berjalan, serta mempercepat kebijakan reformasi
struktural untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dan
berkelanjutan.
TAHUN 2015
Rapat
Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 17 Desember 2015 memutuskan untuk
mempertahankan BI Rate sebesar 7,50%, dengan suku bunga Deposit Facility 5,50%
dan Lending Facility pada level 8,00%. Bank Indonesia memandang bahwa
ruang bagi pelonggaran kebijakan moneter semakin terbuka dengan terjaganya
stabilitas makroekonomi, khususnya inflasi akhir tahun 2015 yang akan berada di
bawah 3% dan defisit transaksi berjalan yang akan berada pada kisaran 2% dari
Produk Domestik Bruto (PDB). Bank Indonesia akan mencermati perkembangan pasar
keuangan global pascakenaikan suku bunga Bank Sentral AS (Fed Fund Rate)
dan kondisi ekonomi domestik dalam jangka pendek ke depan. Bank Indonesia akan
terus memperkuat koordinasi dengan Pemerintah dalam pengendalian inflasi,
penguatan stimulus pertumbuhan, dan reformasi struktural, sehingga mampu
menopang pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dengan stabilitas ekonomi makro
dan sistem keuangan yang tetap terjaga
TAHUN 2016
Rapat
Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 19-20 Oktober 2016 memutuskan untuk
menurunkan BI 7-day Reverse Repo Rate (BI 7-day RR Rate) sebesar 25 bps dari
5,00% menjadi 4,75%, dengan suku bunga Deposit Facility turun sebesar 25
bps menjadi 4,00% dan Lending Facility turun sebesar 25 bps menjadi
5,50%, berlaku efektif sejak 21 Oktober 2016. Bank Indonesia meyakini bahwa
pelonggaran kebijakan moneter tersebut sejalan dengan tetap terjaganya stabilitas
makroekonomi, khususnya inflasi tahun 2016 yang diperkirakan mendekati batas
bawah kisaran sasaran, defisit transaksi berjalan yang lebih baik dari
perkiraan, surplus neraca pembayaran yang lebih besar, dan nilai tukar yang
relatif stabil. Di tengah masih lemahnya perekonomian global, pelonggaran
kebijakan moneter tersebut diyakini semakin memperkuat upaya untuk mendorong
permintaan domestik, termasuk permintaan kredit, sehingga dapat terus mendorong
momentum pertumbuhan ekonomi. Bank Indonesia juga akan terus memperkuat
koordinasi kebijakan bersama Pemerintah untuk memastikan pengendalian inflasi,
penguatan stimulus pertumbuhan, dan pelaksanaan reformasi struktural berjalan
dengan baik, sehingga mampu menopang pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
TAHUN 2017
Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank
Indonesia pada 20 dan 22 September 2017 memutuskan untuk menurunkan BI
7-day Reverse Repo Rate sebesar 25 bps dari 4,50% menjadi 4,25%, dengan suku
bunga Deposit Facility turun 25 bps menjadi 3,50% dan Lending Facility
turun 25 bps menjadi 5,00%, berlaku efektif sejak 25 September 2017.
Penurunan suku bunga acuan ini masih konsisten dengan realisasi dan perkiraan
inflasi 2017 yang rendah serta prakiraan inflasi 2018 dan 2019 yang akan
berada di bawah titik tengah kisaran sasaran yang ditetapkan dan defisit
transaksi berjalan yang terkendali dalam batas yang aman. Risiko eksternal
terutama yang terkait dengan rencana kebijakan Fed Funds Rate (FFR) dan
normalisasi neraca bank sentral AS juga telah diperhitungkan. Penurunan suku
bunga kebijakan ini diharapkan dapat mendukung perbaikan intermediasi perbankan
dan pemulihan ekonomi domestik yang sedang berlangsung. Bank Indonesia
memandang bahwa tingkat suku bunga acuan saat ini cukup memadai sesuai dengan
prakiraan inflasi dan makroekonomi ke depan. Bank Indonesia terus berkoordinasi
dengan Pemerintah untuk memperkuat bauran kebijakan dalam rangka menjaga
stabilitas makroekonomi dan memperkuat momentum pemulihan ekonomi.